Banyuwangi, -Mengulik kegiatan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah khususnya Banyuwangi yang dinamakan reses, membuat penasaran atau rasa ingin tahu yang tinggi apa itu reses.
Masa reses adalah masa kegiatan DPRD di luar kegiatan masa sidang dan di luar gedung. Masa reses mengikuti masa persidangan, yang dilakukan sebanyak 3 kali dalam setahun atau 14 kali reses dalam periode 5 tahun masa jabatan DPRD.
Tunjangan reses adalah tunjangan yang diberikan kepada pimpinan dan anggota DPRD setiap melakukan reses.( Sumber : Peraturan Bupati Banyuwangi Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Pemberian Hak Keuangan dan Administratif Pimpinan dan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah ).
Pada Bagian Ketujuh terkait Besaran Tunjangan Reses dalam Peraturan Bupati Banyuwangi Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Pemberian Hak Keuangan dan Administratif Pimpinan dan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Besaran tunjangan reses bagi pimpinan dan anggota DPRD Kabupaten Banyuwangi sebesar Rp. 14.700.000, 00
Banyuwangi memiliki kurang lebih 50 anggota DPRD dan perkiraan dana yang diterima untuk serap aspirasi sebesar Rp. 100 Miliar.
Bukan menjadi rahasia lagi giat reses hanya terkesan atau diduga hanya seremonial dengan diiringi musik.
Dari 50 anggota dikalikan dengan 14 kali masa reses adalah 700 kali kegiatan dalam jangka waktu 5 tahun lalu dikalikan Rp14.700.000, 00 sama dengan Rp. 10.290.000.000 itu hanya itu kegiatan reses dalam waktu 5 tahun. Perlu dan harus kita ketahui, dari jumlah tersebut berapa yang bisa terserap atau diimplementasikan ke masyarakat?.
Menurut hemat saya, hal ini perlu diketahui masyarakat pada umumnya berapa proses yang bisa diserap atau diimplementasikan pada masyarakat terkait dengan reses tersebut.
Jabatan Transaksional.Tema jabatan transaksional ini tidak bersinggungan langsung dengan tema yang di atas yaitu mengukur efektivitas reses Legislatif.
Demokrasi memang tidak bisa dilepaskan dari transaksi, antara yang memilih dan yang dipilih. Namun didalam demokrasi yang positif atau sehat, transaksi itu tidak berwujud materi yang hanya dinikmati seseorang namun bisa dinikmati oleh masyarakat umum.
Contoh yang sering kita ketahui, si Bapak Bagong misalnya, mau maju mencalonkan diri sebagai DPRD, wilayah Dapil 10. Maka masuklah Bagong ke Dapil 10 dengan membawa program. Terjadi dialegtika antara calon pejabat dan calon pemilih, terjadi kesepakatan akan dibangun jembatan, atau dibangun akses jalan yang bagus.
Perilaku traksaksional itu memang bukan sesuatu yang baru. Dalam banyak kasus pemilihan apapun
, perilaku demikian sudah lama ditemui. Para calon, misalnya, membagikan sarung atau materi yang lain kepada calon pemilih dengan harapan bisa terpilih. Tradisi demikian sudah lama terjadi dan lebih mengemuka belakangan. Tidaklah mengherankan, ada orang yang sampai menghabiskan Rp 1 miliar hanya untuk sebuah kursi jabatan.
Paling tidak, terdapat sejumlah kondisi yang memunculkan fenomena itu. Kondisi yang perberkaitan dengan kesadaran para pemilih bahwa politisi yang pada akhirnya memperoleh kekuasaan atas dukungan yang mereka berikan tersebut telah menikmati kekuasaan yang berdurasi cukup lama.
Para pemilih itu lantas berpikir, 'Kalau politisi boleh menikmati kekuasaan selama lima tahun, mengapa kita tidak boleh menikmati sebagian dari hasil kekuasaan itu?''
Pemenang dalam perhelatan perebutan sebuah kursi selama lima tahun akhirnya menikmati kekuasan, paling tidak modal yang dikeluarkan awal untuk pemilihan sudah kembali bahkan lebih untuk mencalonkan diri kembali menempati kursi transaksional tersebut.
Jadi bukan hanya calon pejabat yang melakukan transaksional, namun calon pemilih juga berkesempatan menikmati daripada transaksional tersebut.
Bagi masyarakat pada umumnya, mari lebih jeli dan lebih cerdas dalam memilih pemimpin, baik itu level desa hingga yang lebih tinggi dari desa. Jangan memilih hanya semata ada transaksional, namun lihat kualitasnya.
Veri Kurniawan ( FOSKAPDA )